BAB XVII - KESENDIRIAN SANG JATI DIRI (KAIVALYA)
ooredoo

Wednesday, July 23, 2014

Home » Ajaran Agama Hindu , ASHTAVAKRA GITA » BAB XVII - KESENDIRIAN SANG JATI DIRI (KAIVALYA)

BAB XVII - KESENDIRIAN SANG JATI DIRI (KAIVALYA)

BAB XVII
KESENDIRIAN SANG JATI DIRI (KAIVALYA)

Ashtavakra berucap :
1. Seseorang dikatakan telah mendapatkan pahala (hasil dari) Ilmu Pengetahuannya, juga pahala dari hasil karya yoganya, yang merasa puas dan indra-indranya telah bersih, yang senantiasa berbahagia di dalam “Kesendiriannya”.

2. Oh! Yang mengetahui (akan) kebenaran tidak mengenal penderitaan di dunia ini, karena seisi alam semesta ini telah terisi olehNya semata-mata.

3. Ibarat dedaunan Nim (yang hijau segar tetapi pahit rasanya) yang tidak disukai oleh seekor gajah yang lebih menyukai kenikmatan daun Sallaki (yang nikmat rasanya), demikian juga dia, yang merasa puas akan Sang Jati Diri tidak akan menyukai objek-objek sensualnya.

4. Di dunia ini sangat langka sekali untuk menemukan seseorang yang tidak lepas dari hal-hal yang pernah dialaminya (dinikmatinya) ataupun seseorang yang tidak menghasratkan sesuatu yang belum dinikmatinya.

5. Di dunia ini terdapat insan-insan yang mendambakan kebebasan (spiritual) dan juga mereka-mereka yang berhasrat akan kenikmatan-kenikmatan duniawi. Tetapi amat langka menemukan seseorang yang mulia dan suci yang tidak mendambakan duniawi maupun kebebasan spiritual.

6. Langka sekali untuk menemukan seseorang yang berjiwa besar yang tidak tertarik ataupun menolak kesucian, keduniawian, pemenuhan hasrat dan berbagai nafsu serta keinginan dan kebebasan spiritual …. Jarang sekali ditemukan seseorang yang tertarik atau menilai kematian.

7.
Seseorang yang memiliki kebijaksanaan tidak merasakan apapun juga seandainya alam-semesta ini hancur seluruhnya atau seandainya alam-semesta ini hadir seperti seharusnya. Dia, Yang Penuh Berkat ini hidup secara bahagia walaupun dia mengalami berbagai hal dalam hidup nyaman karena merasa tidak pernah berhasrat untuk semua hal-hal tersebut.

8. Merasa bersyukur dan puas melalui kebijaksanaan yang berasal dari Sang Jati Diri, dan dengan batinnya yang telah terserap dan terpuaskan di dalam Sang Jati Dirinya, insan yang bijaksana ini hidup berbahagia ….. (walaupun) dia sehari-harinya melihat, mendengar, merasakan, mencium dan bersantap.

9. Seseorang yang dirinya terkesan sebagai samudra kehidupan yang telah kering airnya, insan ini tidak lagi terpikat atau menolak sesuatu apapun. Pandangannya menjadi kosong. Raganya melakukan aktifitas tanpa sesuatu tujuan dan indera-indera sensualnya pun mulai tidak beroperasi lagi (karena semua tindakan baik secara lahir dan batinnya telah menyatu dengan Sang Jati Dirinya).

10. Seseorang yang memiliki kebijaksanaan tidak terjaga dan juga tidak tertidur. Dia tidak menutup dan membuka matanya. Oh! Sang Jiwa yang terbebaskan ini dimanapun dia berada dia menikmati kesadaran yang teramat agung dan suci.

11. Seseorang yang telah terbebaskan ini telah menyatu dengan Sang Jati Diri dalam segi apapun juga dan tidak tersentuh lagi oleh berbagai keinginan dalam kondisi atau situasi apapun juga. Dia berbahagia (secara suci) karena telah jauh dari semua bentuk Vasanas (sumber-sumber nafsu dan keinginan).




12. (Walaupun) Ia menyaksikan, mendengarkan, menyentuh, mencium, bersantap, menerima, berbicara dan berjalan, insan yang mulia ini, lepas dari semua bentuk keterikatan, sebenarnya telah terbebaskan (secara spiritual dari kaidah-kaidah dunia ini secara keseluruhan).




13. Insan mulia yang telah bebas ini tidak menghina ataupun memuji seseorang. Ia tidak bergembira maupun murka. Ia tidak menerima atau memberi. Ia bebas dari obyek-obyek kenikmatan.




14. Insan yang mulia ini tidak terganggu dan tetap stabil (tegar) walaupun ia memandang kepada seorang wanita yang penuh dengan nafsu, ataupun dikala ia menunggu kedatangan sang ajal yang segera datang menjemput. Beliau ini sebenar-benarnya telah terbebaskan.




15. Insan yang bijaksana yang memandang secara sama rata ke arah manapun juga, tidak melihat suatu perbedaan diantara kebahagiaan dan penderitaan, diantara pria dan wanita, diantara keberuntungan dan sebaliknya.




16. Di dalam seseorang yang kehidupan duniawinya telah terhenti, maka tak ada lagi padanya nafsu atau kekerasan; tidak hadir juga kesederhanaan ataupun keangkuhan; juga tidak hadir ketakjuban atau kekhawatiran (ketakutan) akan berbagai hal tersebut.




17. Seseorang yang tidak memiliki lagi rasa penolakan atau nafsu-nafsu keinginan akan obyek-obyek sensualnya, dengan batinnya yang telah lepas dari unsur-unsur duniawinya ia senantiasa merasakan apa yang telah dicapainya maupun yang belum dicapainya (dalam kehidupan ini).




18. Insan bijaksana yang batinnya telah kosong, tidak mengenal alternatif-alternatif mentalnya ke pemusatan pikiran (samadi) ataupun sebaliknya, ia tidak kenal akan kebajikan dan kebatilan. Ia hadir, seakan-akan ia berada di Tahap Kesendirian.




19. Merasa tidak terikat dengan perasaan “ke Aku an” dan “ini adalah milikku”, penuh dengan keyakinan bahwa tidak ada apapun di dunia ini yang nyata dan dengan seluruh nafsunya yang mencair habis, insan yang bijaksana ini tidak melaksanakan apapun juga, walaupun terkesan ia melakukan sesuatu.




20. Suatu tahap yang tidak dapat dijabarkan dicapai oleh seorang Suci yang batinnya telah mencair secara tuntas, yang fungsi-fungsinya telah terhenti, yang telah bebas dari semua khayalannya, dari mimpi-mimpi dan kebodohannya.